Archive | Cerpen RSS feed for this section

Taplak Kenangan

19 Mar

Pada awal tahun 60-1n, di sebuah gereja tua dan bobrok di New York seorang pendeta muda dan idealis dengan gigihnya melawan kondisi bangunan gereja yang bobrok dan kemiskinan.

Suatu pagi, sang pendeta dan istrinya berjalan – jalan untuk melihat bagunan gereja dan melihat-lihat situasi setelah badai ganas yang telah merusak kota pada malam sebelumhya. Mereka khawatir badai itu mengakibatkan kerusakan serius. Kecemasan mereka terbukti. DI lantai, mereka menemukan sebongkah besar plester yang terlepas dari dinding. Jatuhnya bingkahan plester itu telah meninggalkan lubang besar yang menganga dan buruk.

“Oh, tidak!” teriak istri pendeta sambil memandangi reruntuhan itu dengan cemas. Amukan angin telah membuat lubang besar yang mengerikan.

Pendeta muda itu sedih. Bagaiman mungkin bencana seperti ini bisa muncul pagi ini; pagi di mana akan sulit, bahakan mustahil, untuk mencari tukang yang dapat memperbaiki kerusakan ini dengan cepat? Pendeta itu bertanya kepada istrinya siapa kira-kira yang dapat merek hubungi. Dengan tenang istri pendeta itu mengingatkan suaminya bahwa walaupun mereka berhasil menemukan orang yang tepat untuk melakukanpekerjaan itu, uang kas gereja sudah kosong. Bagaimana mereka akan membayar upahnya?

Pendeta itu menarik nafas panjang dan mengangkat kedua bahunya. “Kita harus membuat rencana lain”, katanya.

Selanjutnya pada hari itu, sang pendeta menghadiri sebuah acara lelang amal lokal yang telah janjikan untuk hadir berminggu – minggu sebelumnya. Sebenarnya pikirannya tertuju pada lubang besar di dinding gereja, tapi si pendeta tahu masyarakat kota itu sedang menantikan kedatangannya.

Pada acara lelang itu, sehelai taplak meja yang berhelai indah, buatan tangan, dan berwarna keemasan ditawarkan kepada para pengunjung lelang. Taplak meja itu amat indah dan menarik perhatian, tapi tidak ada seorang pun yang menginginkannya karena ukurannya yang terlalu besar. ” Meja yang ukuran berapa yang taplaknya sebesar itu?”, seseorang bergumam kecewa.

Sementara itu sebuah rencana kreatif terpikirkan  di benak pendeta itu. Tak seorang pun menginginkan taplak meja itu — mengapa tidak ia saja? Pendeta itu mengamati taplak meja itu dan meyakinkan hatinya bahwa ukurannya tepat. Taplak meja itu dapat menutup lubang besar menyeramkan itu dengan sempurna. Ia membelinya seharga $6 dan dengan gembira kembali ke gereja.

Ketika si pendeta kembali dan memasuki gedung gereja, ia berhenti sejenak. Ia mengamati seorang ibu tua yang menggigil kedinginan sedang berdiri di pojok pemberhentian bus. Ia orang asing di kota itu. Ia tampaknya sedang mengalami kesulitan dan jas hujannya kelihatan terlalu tipis untuk dapat melindunginya dari tiupan angin kencang. Pendeta itu pun memperkenalkan dirinya dan menawarkan ibu itu untuk beristirahat di gereja untuk sementara waktu dan sedikit menghangatkan badan. Pendeta itu tahu tentang rute bus yang biasanya lewat dan bus berikutnya belum tentu datang dalam waktu setengah jam lagi.

Ibu tua itu pun menerima ajakan sang pendeta dengan senang hati. Dia mengikuti pendeta itu masuk ke dalam gereja. Ketika pendeta mulai menggantungkan taplak meja di atas lubang yang menyeramkan di dinding gereja, si ibu masuk dan beristirahat di bangkju gereja. Tak lama kemudian matanya mulai memandangi sekeliling gereja dan ia terbelalak ketika sedang mengamati pendeta yang sedang sibuk dengan pekerjaannya. Ia sangat terpaku melihat pemandangan itu. Ia pun perlahan – lahan bangun dari tempat duduknya dan berjalan ke arah dinding tempat si pendeta bekerja, Air mata wanita itu seketika bercucuran melihat pemandangan yang berada  tepat di depan matanya.

“Beberapa tahun silam”, katanya pelan, “aku memiliki taplak yang mirip dengan ini. Suamiku tercinta memberikannya kepadaku dengan tanda sulaman di bagian pojoknya. Suami dan taplak adalah harta yang kumiliki di masa silam. Kini, keduanya sudah tidak ada lagi dan hidupku kemudian menjadi begitu kosong tanpa kehadiran suamiku.”

Pendeta itu jatuh iba kepada si ibu dan hatinya tergerak ketika melihat wajahnya yang amat memelas. Ibu tua itu berjalan mendekat. ” Taplak meja itu mengingatkanku akan taplak tua milikku”, ulangnya lagi. ” Taplak ini sangat mirip dengan milikku”.

Ibu tua itu berjalan tehutung menuju dinding dan mengamati taplak meja itu dengan sakksama. Sambil terdiam, ia meminta pendeta untuk mendekatinya. Di taplak meja itu benar – benar ada inisial tersulam di bagian pojiknya.

” inisialku”,  katanya.

Ibu itu bercerita kepada si pendeta bahwa dulunya ia seorang wanita kaya di Wina, Austria sebelum Perang Dunia II. Selama perang, ia kehilangan semua anggotakeluarganya dan hartakekayaannya. ” Aku tidak tahu bagaiman taplakku bisa berada di sini “, katanya heran.

Ada dua spekulasi tetapi tidak masuk akal. Ini salah satu misteru kecil dalam hidup, demikian mereka menyimpukan.

Si pendeta bertanya kepada perempuan asing itu bagaimana ia bisa berada di kota kecil ini. Ia mengaku berasal dari kota tetangga dan kemudian pergi ke kota kecil itu untuk mengikuti wawancara kerja sebagai pengasuh anak. Namun, ia gaagal. ” Mungkin aku terlalu tua”, katanya putus asa.

Si pendeta bertanya lagi dengan lembut kepada perempuan asing itu, apakah ia menginginkan taplak mejanya kembali. Meslkipun taplak itu merupakan tanda kasih dari suaminya sekaligus bukti dari kehidupan makmur semasa tinggal di WIna, katanya, kini sudah tidak ada artinya lagi. “Meja makanku yang sekarang sangat kecil”, katanya merendah. ” Aku sengan jika taplakku berguna di sini. Keindahannya akan memperindah kebaktian sore yang Anda layani. AKu yakin itu. Jadi, aku bahagia dapat memberikannya” .

Sore itu, kebaktian dimulai dan gereja dipenuhi dengan jemaat. Banyak orang yang mengomentari taplak berenda indah yang tergantung di dinding gereja,  mereka terpesona karena keindahannya. Banyak orang yang menghentikan langkah sejenak untuk mengamatinya dengan heran seblum bergegas pulang.

Seorang laki – laki sangat terkagum – kagum, bahkan hampir terhipnotis oleh keindahan taplak meja itu. Ia seorang “pengunjung tetap” gereja. Ia adalah jemaat yang rajin di gereja itu selama hampir dua dekade dan ia kenal baik dengan si pendeta. Lelaki itu menepuk pundak si pendeta, dan pendeta itu terkejut melihat air mata yang menggenang di pelupuk mata lelaki tersebur.

“Sejak saat itu aku tidak pernah melihat taplak seperti ini “‘, katanya.

“Maksud Bapak? “, tanya pendeta ingin tahu.

” Bertahun – tahun silam sebelum aku tinggal di tempat ini “, cerita laki  laki pelan, “aku menjalani hidup yang benar – benar berbeda, sungguh berbeda. Aki tinggal di Wina sebelum Hitler menyatakan perang dan dalam suasana kacau, seluruh keluargaku menghilang. Aku mencari mereka bertahun – tahun lamanya setelah perang, tetapi aku mendapat informasi kalau mereka sudah meninggal. Aku tidak  sanggup untuk hidup seorang diri di WIna, terlalu banyak kenangan menyedihkan di sana. Aku memutuskan untuk menetap di Amerika. Aku telah lama menjalani hidup seorang diri, aku tidak pernah menikah lagi. Tidak ada seorang wanita pun dapat menggantikan posisi istriku tercinta. Suatu hari, aku memberikan istriku sehelai taplak yangamat mirip dengan taplak ini, sangat mirip. Aku menyulam inisial namanya di sudut taplak “.

Dengan tenang si pendeta membimbing bapak itu menuju ke dinding tempat taplak itu tergantung. Ia mengamati sudutnya dan matanya bersinar – sinar keheranan. ” Ini taplak yang sama “, teriaknya, “Ini inisial istriku …. istriku tercinta !  Bagaiman mungkin ini bisa terjadi?”

Si pendeta pun merangkul pundak bapak itu danmembimbingnya duduk di bangku gereja. Dengan hati – hati dan perlahan, si pendeta bercerita tentang seorang ibu tua yang berada di gereja tadi pagi. Pendeta itumenyesal karena tidak meminta alamat ibu itu di kota tetangga. Namun, ia bersyukur karena ingat nama keluarga yang telah mewawancarainya.

Dengan penuh kebahagiaan, dua lelaki itu mencari keluarga yang secara kebetulan menyimpan surat lamaran pekerjaan dari wanita tua itu.

Keesokan harinya, bapak itu bertemu kemabli dengan istrinya yang telah berpisah sejak Perang Dunia II. Mereka disatukan kembali oleh sehelai taplak berenda, yang satu kali pernah menghiasi kehidupan mereka dan sekarang mempertemukan mereka kembali.

“Ketika cinta menghiasi, waktu dan kekacauan tak mampu menghapuskannya”.

Sumber: Yitta Halberstam dan Judith Leventhal, “Gifts From The Heart of Love & Friendship”, Jakarta:

Sekeping Uang Pembangkit Harapan

2 Jan

Pada suatu malam di bulan Desember 1956, Davis bocah berusia 3 tahun, sepupuku, meringkuk di dekat ibunya saat naik kereta api menuju Mahattan. Baru sat minggu yang lalu, mereka meninggalkan kehidupan sulit di Hungaria untuk memulai kehidupan baru di Amerika, di sebuah tempat bernama Brooklyn. Mereka sulit menyesuaikan diri dnegan mencolok. Namun, Amerika memberi mereka aset yang amat berharga, yakni harapan.

David duduk di dalam kereta yang bergeretak dan menekankan pipinya pada jendela yang dingin, mengagumi gedung-gedung bertingkat yang megah. “Selamat pagi”, kata seorang lelaki tua, membuyarkan lamunannya.  Lelaki tua yang berdiri dibelakangnya menggunakan jas wol dan topi yang terbuat daribulu binatang. Mata David terpesona dengan penampilan elegannya. Terlebih melihat mata ramahnya.

“Apakah Anda orang baru di negara ini?” Orang asing itu bertanya langsung kepada ayah David.

“Baru seminggu yang lalu kami tiba di negara ini”, jawabnya.

Orang asing itu membungkuku ke arah David, meyakinkan agar David juga ikut terlebih dalam percakapannya dalam orangtuanya. “Ketika pertama kali datang ke Amerika di akhir tahun 1800-an, aku masih bocah sepertimu.” Ia memandang mata David. “Saat aku sedang mendorong troli, seorang lelaki tua menghampiriku dan berkata bahwa ia juga beimigrasi ke Amerika Serikat ketika masih kecil. Ia menjelaskan kepadaku bahwa ia juga tidak punya uang satu sen pun. Kemudian orangtua itu mengeluarkansekeping uang dolar dan meletakkannya di tanganku. Katanya, “Ini, Nak, koin ini akan memberimu keuntungan dalam hidupku. Sekarang aku memberikannya kepadamu dan berharap koin ini juga akan memberimu keuntungan seperti yang dilakukannya kepadaku.”

Orang asing itu mendekatkan wajahnya ke David dan mengeluarkan sekeping uang dolla dari sakunya. “Ini koin yang diberikan bapak tua itu kepadaku. Koin ini telah memberiku keberunbtungan dan kemakmuran dalam banyak hal. Sekarang koin ini menjadi milikmu. Dan seperti yang diharapkan dariku, aku juga berharap koin ini dapat memberimu keberuntungan.” Lelaki tua itu membuka tangan David dan menaruh koin itu dengan menatap di telapak tangannya. David menutup telapak tangannya dan menggenggam koin itu erat-erat. Ia tahu bahwa ia akan menjaganya dalam waktu yang lama.

Keesokan harinya, David memeriksakoin itu di bawah cahaya mentari yang menerobos jendela. Ia memicingkan matanya agar dapat melihat koin itu dengan teliti dan sesuatu mengejutkannya, “Ini bukan koin biasa,” pikirnya. “Benar-benar dari tahun 1800-an! Tapi, koin ini berkilat seperti uang logam yang masih baru.”

Lebih dari 40 tahun berlalu sjak peristiwa penuh kenangan dikereta api. Remaja imigran kecil yang dulu ketakutan itu telah tumbuh menjadi seorang kaya. Ia dikaruniai perkawinana yang bahagia selama 35 tahun dan dikaruniai 4 anak yang semuanya sudah membangun keluarga masing-masing. David bersyukur atas keberuntungan itu, Ia tersenyum memandang cucu-cucunya yang dapat hidup berkecukupan, sesuatu yang tidak dapat ia dapatkan semasa kecilnya dulu. Semua harapan yang diberikan padanya di masa lalu telah terwujud.

David selalu menyimpan koin perak yang berharga itu. “Suatu hari nanti,” katanya kepada istrinya, “ketika aku sudah tua, aku akan mencari seorang anak kecil yang memegangi bau ibunya yang kuat, dikecam ketakutan untuk hidup di antara orang-orang asing di negeri yang asing pula. Aku akan mencari anakyang seperti itu dan meyakinkannya, seperti yang kualami dahulu, bahwa kehidupan masa depan memberikan kesejahteraan dan kebahagiaan. Seperti  sekeping uang dollar dan kata-kata pengharapan yang menguatkan, yang telah diberikan kepadaku dan orang lain sebelumnya, aku juga akan memberinya kepada orang lain.”

–  Judith Levental –

Sumber: Gilts From The Heart of Love & Friendship