Pada awal tahun 60-1n, di sebuah gereja tua dan bobrok di New York seorang pendeta muda dan idealis dengan gigihnya melawan kondisi bangunan gereja yang bobrok dan kemiskinan.
Suatu pagi, sang pendeta dan istrinya berjalan – jalan untuk melihat bagunan gereja dan melihat-lihat situasi setelah badai ganas yang telah merusak kota pada malam sebelumhya. Mereka khawatir badai itu mengakibatkan kerusakan serius. Kecemasan mereka terbukti. DI lantai, mereka menemukan sebongkah besar plester yang terlepas dari dinding. Jatuhnya bingkahan plester itu telah meninggalkan lubang besar yang menganga dan buruk.
“Oh, tidak!” teriak istri pendeta sambil memandangi reruntuhan itu dengan cemas. Amukan angin telah membuat lubang besar yang mengerikan.
Pendeta muda itu sedih. Bagaiman mungkin bencana seperti ini bisa muncul pagi ini; pagi di mana akan sulit, bahakan mustahil, untuk mencari tukang yang dapat memperbaiki kerusakan ini dengan cepat? Pendeta itu bertanya kepada istrinya siapa kira-kira yang dapat merek hubungi. Dengan tenang istri pendeta itu mengingatkan suaminya bahwa walaupun mereka berhasil menemukan orang yang tepat untuk melakukanpekerjaan itu, uang kas gereja sudah kosong. Bagaimana mereka akan membayar upahnya?
Pendeta itu menarik nafas panjang dan mengangkat kedua bahunya. “Kita harus membuat rencana lain”, katanya.
Selanjutnya pada hari itu, sang pendeta menghadiri sebuah acara lelang amal lokal yang telah janjikan untuk hadir berminggu – minggu sebelumnya. Sebenarnya pikirannya tertuju pada lubang besar di dinding gereja, tapi si pendeta tahu masyarakat kota itu sedang menantikan kedatangannya.
Pada acara lelang itu, sehelai taplak meja yang berhelai indah, buatan tangan, dan berwarna keemasan ditawarkan kepada para pengunjung lelang. Taplak meja itu amat indah dan menarik perhatian, tapi tidak ada seorang pun yang menginginkannya karena ukurannya yang terlalu besar. ” Meja yang ukuran berapa yang taplaknya sebesar itu?”, seseorang bergumam kecewa.
Sementara itu sebuah rencana kreatif terpikirkan di benak pendeta itu. Tak seorang pun menginginkan taplak meja itu — mengapa tidak ia saja? Pendeta itu mengamati taplak meja itu dan meyakinkan hatinya bahwa ukurannya tepat. Taplak meja itu dapat menutup lubang besar menyeramkan itu dengan sempurna. Ia membelinya seharga $6 dan dengan gembira kembali ke gereja.
Ketika si pendeta kembali dan memasuki gedung gereja, ia berhenti sejenak. Ia mengamati seorang ibu tua yang menggigil kedinginan sedang berdiri di pojok pemberhentian bus. Ia orang asing di kota itu. Ia tampaknya sedang mengalami kesulitan dan jas hujannya kelihatan terlalu tipis untuk dapat melindunginya dari tiupan angin kencang. Pendeta itu pun memperkenalkan dirinya dan menawarkan ibu itu untuk beristirahat di gereja untuk sementara waktu dan sedikit menghangatkan badan. Pendeta itu tahu tentang rute bus yang biasanya lewat dan bus berikutnya belum tentu datang dalam waktu setengah jam lagi.
Ibu tua itu pun menerima ajakan sang pendeta dengan senang hati. Dia mengikuti pendeta itu masuk ke dalam gereja. Ketika pendeta mulai menggantungkan taplak meja di atas lubang yang menyeramkan di dinding gereja, si ibu masuk dan beristirahat di bangkju gereja. Tak lama kemudian matanya mulai memandangi sekeliling gereja dan ia terbelalak ketika sedang mengamati pendeta yang sedang sibuk dengan pekerjaannya. Ia sangat terpaku melihat pemandangan itu. Ia pun perlahan – lahan bangun dari tempat duduknya dan berjalan ke arah dinding tempat si pendeta bekerja, Air mata wanita itu seketika bercucuran melihat pemandangan yang berada tepat di depan matanya.
“Beberapa tahun silam”, katanya pelan, “aku memiliki taplak yang mirip dengan ini. Suamiku tercinta memberikannya kepadaku dengan tanda sulaman di bagian pojoknya. Suami dan taplak adalah harta yang kumiliki di masa silam. Kini, keduanya sudah tidak ada lagi dan hidupku kemudian menjadi begitu kosong tanpa kehadiran suamiku.”
Pendeta itu jatuh iba kepada si ibu dan hatinya tergerak ketika melihat wajahnya yang amat memelas. Ibu tua itu berjalan mendekat. ” Taplak meja itu mengingatkanku akan taplak tua milikku”, ulangnya lagi. ” Taplak ini sangat mirip dengan milikku”.
Ibu tua itu berjalan tehutung menuju dinding dan mengamati taplak meja itu dengan sakksama. Sambil terdiam, ia meminta pendeta untuk mendekatinya. Di taplak meja itu benar – benar ada inisial tersulam di bagian pojiknya.
” inisialku”, katanya.
Ibu itu bercerita kepada si pendeta bahwa dulunya ia seorang wanita kaya di Wina, Austria sebelum Perang Dunia II. Selama perang, ia kehilangan semua anggotakeluarganya dan hartakekayaannya. ” Aku tidak tahu bagaiman taplakku bisa berada di sini “, katanya heran.
Ada dua spekulasi tetapi tidak masuk akal. Ini salah satu misteru kecil dalam hidup, demikian mereka menyimpukan.
Si pendeta bertanya kepada perempuan asing itu bagaimana ia bisa berada di kota kecil ini. Ia mengaku berasal dari kota tetangga dan kemudian pergi ke kota kecil itu untuk mengikuti wawancara kerja sebagai pengasuh anak. Namun, ia gaagal. ” Mungkin aku terlalu tua”, katanya putus asa.
Si pendeta bertanya lagi dengan lembut kepada perempuan asing itu, apakah ia menginginkan taplak mejanya kembali. Meslkipun taplak itu merupakan tanda kasih dari suaminya sekaligus bukti dari kehidupan makmur semasa tinggal di WIna, katanya, kini sudah tidak ada artinya lagi. “Meja makanku yang sekarang sangat kecil”, katanya merendah. ” Aku sengan jika taplakku berguna di sini. Keindahannya akan memperindah kebaktian sore yang Anda layani. AKu yakin itu. Jadi, aku bahagia dapat memberikannya” .
Sore itu, kebaktian dimulai dan gereja dipenuhi dengan jemaat. Banyak orang yang mengomentari taplak berenda indah yang tergantung di dinding gereja, mereka terpesona karena keindahannya. Banyak orang yang menghentikan langkah sejenak untuk mengamatinya dengan heran seblum bergegas pulang.
Seorang laki – laki sangat terkagum – kagum, bahkan hampir terhipnotis oleh keindahan taplak meja itu. Ia seorang “pengunjung tetap” gereja. Ia adalah jemaat yang rajin di gereja itu selama hampir dua dekade dan ia kenal baik dengan si pendeta. Lelaki itu menepuk pundak si pendeta, dan pendeta itu terkejut melihat air mata yang menggenang di pelupuk mata lelaki tersebur.
“Sejak saat itu aku tidak pernah melihat taplak seperti ini “‘, katanya.
“Maksud Bapak? “, tanya pendeta ingin tahu.
” Bertahun – tahun silam sebelum aku tinggal di tempat ini “, cerita laki laki pelan, “aku menjalani hidup yang benar – benar berbeda, sungguh berbeda. Aki tinggal di Wina sebelum Hitler menyatakan perang dan dalam suasana kacau, seluruh keluargaku menghilang. Aku mencari mereka bertahun – tahun lamanya setelah perang, tetapi aku mendapat informasi kalau mereka sudah meninggal. Aku tidak sanggup untuk hidup seorang diri di WIna, terlalu banyak kenangan menyedihkan di sana. Aku memutuskan untuk menetap di Amerika. Aku telah lama menjalani hidup seorang diri, aku tidak pernah menikah lagi. Tidak ada seorang wanita pun dapat menggantikan posisi istriku tercinta. Suatu hari, aku memberikan istriku sehelai taplak yangamat mirip dengan taplak ini, sangat mirip. Aku menyulam inisial namanya di sudut taplak “.
Dengan tenang si pendeta membimbing bapak itu menuju ke dinding tempat taplak itu tergantung. Ia mengamati sudutnya dan matanya bersinar – sinar keheranan. ” Ini taplak yang sama “, teriaknya, “Ini inisial istriku …. istriku tercinta ! Bagaiman mungkin ini bisa terjadi?”
Si pendeta pun merangkul pundak bapak itu danmembimbingnya duduk di bangku gereja. Dengan hati – hati dan perlahan, si pendeta bercerita tentang seorang ibu tua yang berada di gereja tadi pagi. Pendeta itumenyesal karena tidak meminta alamat ibu itu di kota tetangga. Namun, ia bersyukur karena ingat nama keluarga yang telah mewawancarainya.
Dengan penuh kebahagiaan, dua lelaki itu mencari keluarga yang secara kebetulan menyimpan surat lamaran pekerjaan dari wanita tua itu.
Keesokan harinya, bapak itu bertemu kemabli dengan istrinya yang telah berpisah sejak Perang Dunia II. Mereka disatukan kembali oleh sehelai taplak berenda, yang satu kali pernah menghiasi kehidupan mereka dan sekarang mempertemukan mereka kembali.
“Ketika cinta menghiasi, waktu dan kekacauan tak mampu menghapuskannya”.
Sumber: Yitta Halberstam dan Judith Leventhal, “Gifts From The Heart of Love & Friendship”, Jakarta: